Saat aku
memulai untuk menulis ini, kusempatkan diri untuk menatap beliau sedikit lebih
lama dalam tidur lelahnya. Tidak terasa mataku layu dan airnya menetes.
≈≈≈
Cuaca
hari ini panas. Juga dengan aku. Lelah, penat, kesal, bete, marah, semua
menyatu menjadi gelombang negatif yang merasuki tubuhku. Mood sudah menyatakan
bahwa ia sedang tidak ingin bersahabat untuk beberapa waktu. Sudahlah hari ini
aku benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku masuk
kedalam rumah dengan keadaan yang sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk
ditanya. Aku hanya ingin masuk kamar, menyalakan kipas angin, merebahkan badan,
sambil mendengar musik instrumen yang kuharap bisa menenangkan.
Aku mulai
memasuki ruangan dimana Ayahku ada disana. Sedang membuat kopi yang sudah
pasti, untuk dirinya sendiri. Aku menyapanya sedikit dengan kata-kata yang
setiap kali pulang entah darimana, pasti aku ucapkan. “Aku pulang”.
Ayah
menengok kearahku. Seperti biasa, tatapannya hangat. Ya, tatapan itu selalu
terhangat dari siapapun yang pernah menatapku. Tatapan itu ramah. Dan nggak ada
pencitraan agar terlihat “lebih”. Tatapan itu apa adanya.
Aku
menaiki tangga menuju kamarku dilantai dua. Ayah menyuruhku untuk makan saat
aku masih berjalan ditengah-tengah tangga. Aku menghiraukan perintahnya. Aku
masuk kedalam kamar dengan lunglai. Memasrahkan tubuh tertidur diatas kasur.
Aku berharap kasur memanjakanku dan membuatku tertidur lebih cepat.
Tapi Ayah
datang. Membuka pintu kamarku dan menyuruhku untuk makan. Seperti pada
perintahnya yang barusan, aku masih menghhiraukan. Dan berkata “Nanti”. Simpel.
Aku nggak mau diganggu siapapun sore ini. Termasuk Ayah. Seakan tidak mengerti
inginku, Ayah tetap menyuruhku untuk makan. Aku tau, aku capek dan butuh
makanan untuk mengembalikan tenaga yang terkuras hari yang melelahkan ini. Tapi
aku lebih butuh sesuatu untuk mengembalikan mood yang hilang. Aku menutup mata
dengan tanganku.
Ayah
meraih tanganku, “Makan dulu, nasinya masih panas”.
Aku mulai
bete dengan saran Ayah yang satu ini. Aku mengubah posisi menjadi duduk dan
menatap Ayah dengan tatapan kesal, tetap tidak berkata apa-apa. Tapi kali ini
Ayah mengerti apa yang aku inginkan. Ayah keluar kamar. Ayah sudah hampir
menutup pintu kamarku saat Ibu berjalan dibelakangnya dan berhenti tepat
didepan kamarku. Aku melihat kearah mereka berdua. Tatapan Ayah dan Ibu beradu
saat itu. Seakan mengisyaratkan bahwa Ayah memang tidak boleh menggangguku.
Kasur
tidak bisa membuaiku. Aku tidak bisa tidur. Lalu kuputuskan untuk keluar rumah,
mencari kesegaran lain selain kipas angin.
≈≈≈
Aku
berhenti ditaman depan komplek. Taman yang sedang diisi oleh segerombolan
anak-anak bermain bola, bisa membuatku terhanyut dalam lamun.
Dalam
lamunan, aku melihat seorang bapak yang belum terlalu tua. Mengasuh anak
perempuan kecil, yang umurnya kira-kira masih sekitaran empat tahun. Anak kecil
yang lucu dengan dua kunciran dikepalanya. Sang bapak terlihat sangat bahagia
memiliki anak perempuan itu. Dibelikannya baju yang bagus, mainan yang banyak.
Makanan manis yang khas anak-anak. Dan kasih sayang yang tidak bisa diragukan.
Tapi satu
sisi aku melihat bapak tersebut bekerja sangat keras. Hampir sepanjang waktu
dan setiap hari ia melakukan pekerjaannya. Tanpa ragu ia mengerjakan apapun
dihadapannya. Tujuannya satu. Untuk anak perempuannya itu.
Dalam lamunku
itu, aku juga melihat bapak itu bangga memakaikan pakaian seragam SD pada
anaknya. Ia pakaikan topi berwarna merah pada anak perempuan yang sepertinya
mulai memasuki usia enam tahun. Anak yang polos, senyumnya mengembang bahagia
dengan mata yang berbinar. Bapak itu menuntun anaknya untuk pergi kesekolah
pertama kali. Sungguh pemandangan yang paling romantis yang pernah aku saksikan
antara seorang ayah dan anak.
Berangsur
waktu mengalir, dalam bayanganku, anak perempuan itu sudah mulai beranjak
remaja. Berganti seragam, hingga punya pacar. Bapak yang sudah mulai menua itu
kurang bisa menerima pacar pertama anaknya. Dibayangan lain aku tau, alasan
kenapa bapak tadi kurang menyukai pacar anaknya. Karena cemburu. Anak perempuan
itu akan mempunyai fokus lain selain ia dan belajar.
Bapak itu
mengompres anak perempuannya yang terbaring lemah. Matanya sayu. Menahan tangis
saat melihat anak kesayangannya pingsan. Aku lihat bapak itu pura-pura tegar
dan membisikkan sesuatu pada telinga anaknya, dan aku tidak bisa mendengar ia
berkata apa.
Lamunanku
itu terus berlanjut. Menyadurkan cerita ke cerita. Mengisi setiap kekosongan
kata dalam bayang. Hingga akhirnya anak perempuan itu beranjak dewasa. Dan umur
bapak itu sudah tidak bisa dibilang muda.
Anak
perempuan itu terbentuk manja. Serba bergantung pada sesuatu yang dianggapnya
nyaman dan terbiasa. Tapi bapak yang sudah mulai tua itu masih semangat mengais
rezeki yang Tuhan titip pada Malaikat disetiap harinya. Bapak itu setia dengan
pekerjaan yang melelahkannya, hingga sekeping - dua keping uang, Malaikat bagi
padanya. Bapak itu tidak pernah lupa bersyukur dengan memberikan apapun yang
anak perempuannya itu mau. Aku juga lihat, usaha bapak itu sangat luar biasa.
Tanpa pamrih dan puji, ia terus mendewasakan, menjaga, menyayangi, sabar,
menjadi tempat berbagi kisah dan keluh kesah sang anak perempuan yang saat ini
menginjakkan umur baru. Sungguh pemandangan yang luar biasa.
Ya, pemandangan
yang sedari tadi aku lamunkan adalah pemandangan aku, bersama Ayahku. Cerita
didalamnya terangkai apik, mengalir begitu saja.
≈≈≈
Aku
terbangun dari lamunan saat bola yang sedang anak-anak didepanku itu mainkan,
bergulir tepat menyentuh kakiku. Aku menendang kearah mereka. Lalu mereka
kembali asyik dengan sepak bolanya. Tawa mereka khas anak-anak yang tidak punya
beban. Lalu aku dan beban keseharianku?! Aku kembali teringat Ayah. Ayah selalu
ada disetiap moment hidupku. Tidak peduli aku masih kecil atau mulai beranjak
dewasa seperti sekarang. Tidak peduli senang atau saat moodku seperti ini. Tapi
tidak denganku. Aku memutuskan untuk pulang kerumah.
Aku
kembali membuka pintu rumahku. Ibu sedang mengerjakan sesuatu didapur. Ayah
sedang duduk di depan TV. Aku duduk disampingnya. Tatapan ramah itu menyapa
dengan hangat. Tatapan tulus yang selalu memaafkan tanpa berkata. Tatapan itu
menatapku sambil tersenyum. Tangannya mengusap pelan kepalaku. Aku balas
menatapnya dengan penyesalan yang bertumpang tindih dihati. Ayah tidak pernah
dendam dengan kekesalan dan kesalahanku padanya, yang aku sendiri tau, itu
dosa.
Ayah
bertanya darimana aku?! Aku menjawab hanya dengan gelengan kepala. Lalu ia
memerintahkanku hal yang mungkin sudah lebih dari tiga kali disore ini.
“Nasinya udah mulai dingin, jadi cepet makan. Nanti nggak enak”
Aku
tertawa kecil karena ucapannya. Dan bahagia setelahnya.
Apa yang
Ayah ingin dariku sederhana. Hanya makan. Dan selalu sederhana karena tidak
pernah menuntut lebih apa-apa.
Aku menyayanginya
tapi Ayah menyayangiku lebih dari siapapun. Aku membanggakannya yang kuat, Ayah
banggakanku sebagai anaknya yang hebat.
*Terimakasih
telah mengajarkanku bermain sepeda. Menjadi orang pertama yang tau saat aku
haid untuk pertama kali. Menjadi orang paling dramatis kala aku sakit. Menjadi
orang paling sibuk mengurusi kebodohanku. Aku beruntung memilikimu. Dan aku
yakin, didunia, Ayah sepertimu hanya satu. Dan hanya aku pemiliknya. Semoga
Tuhan memberimu kasih sayang terindah yang Tuhan pernah beri untuk umatNya.
Semoga Tuhan menghadiahimu Kasih sayang, juga rezeki yang melimpah. Dan surga
bagimu, Ayah*
Selesai
Thanks for Reading
@snvita