Minggu, 28 April 2013

Riuhnya Dunia


Selamat malam dunia! Selalu kuucapkan itu untuk dirimu. Karena aku tak punya pasangan?! Oh, tidak! Aku hanya ingin selalu menyapamu. Berterimakasih bahwa hingga malam ini, aku masih diterimamu, disini.

Dunia, tahukah?! Terkadang aku bosan dengan riuhnya kehidupanmu. Terlalu banyak “kekacauan” didalammu. Apalagi dunia cyber yang merajalela. Banyak sekali manusia yang dapat aku “temui” ditiap harinya.Apalagi ketika aku terhipnotis untuk terus menjadi pengikutnya. Buat lupa makan. Dan sakit mata. Dikit-dikit update status. Dikit-dikit twitpict. Tugas belum beres gara-gara chatting. Begitu seterusnya seperti kita terus-menerus dikendalikan. Terlebih ketika chargeran hilang atau lupa nyimpan. Wah, gregetan!

Kadang aku ingin seperti dimana aku masih belum mengerti apa-apa. Dizaman internet belum segila ini. Tapi difikir-fikir, tidak akan ada satupun yang tercipta, jika itu tak ada manfaatnya. Toh internet membuat kita bisa lebih mudah bersilaturahmi. Dan bisa mudah berkomunikasi.

Belum lagi dengan dunia nyata. Riuhnya manusia yang menghunimu terkadang membuatku ingin pergi sejauh aku bisa. Tapi tetap, aku mengurungkan niatku untuk itu. Karena satu, orangtuaku.

Hidup didalammu bersama orang-orang yang menyebalkan, membuat waktu berputar terasa amat lamban. Dimana cercaan datang, hujatan mulai menjadi sarapan, ah tolong dunia, lempar jauh orang-orang seperti itu. Buang jauh dari hidupku.
Bukan aku tak berani, dunia. Hanya saja aku tak ingin masalah lebih panjang. Terdengar amat klasik memang. Tapi memang begitulah nyatanya. Diam itu bukan hanya emas. Tapi juga kunci. Terkadang aku bisa keluar dari satu masalah karena diam yang menjadi kunciku.

Dunia. Dengan segala keriuhan yang ada didalammu, aku beruntung akan satu hal. “Duniaku sempit” ya, duniaku sempit.

Kehidupan dengan orang-orang itu saja. Tidak berwara-wiri sana-sini, malah membuatku merasa nyaman.Paling tidak, tak terlalu banyak ricuh. Lebih banyak ketenangan. Juga kepercayaan. Kepercayaan untuk pasanganku pastinya. Ia akan merasa lebih tenang karena sempitnya kehidupanku.

Memang duniaku tak sebewarna mereka. Tapi kadang, beberapa warna itu tidak membuatmu gelap mata karena terlalu banyak melihat warna-warna yang lain. Melihat satu-dua warna akan membuatmu lebih jelas menghafal. Lebih jelas melihat satu sama lain. Lebih bisa berkonsentrasi untuk bisa mengenal.
Malah, kalau terlalu banyak warna, akan terlihat lebih bias.Tidak jelas, dan tidak tau mana yang asli, dan mana warna yang palsu. Warna yang pokok, dan warna campuran. Mengertikah maksudku?! J

Dunia. Tugasku saat aku masih menginjakkan kakiku didalammu, masih banyak. Tugasku akan orangtua, tugasku akan mencari ilmu, tugasku akan mencari rezki, tugasku akan mencari cinta dan tugasku untuk masa depan diri sendiri, belum semua aku laksanakan dengan baik. Dan selama aku masih hidup dan menumpang didalammu, bantulah aku untuk terus jalani tugas. Dukunglah aku dengan semua yang kau bisa. Dukungan dengan cuaca, dengan angin, dengan hujan tanpa petir. Dengan awan yang putih kapas. Langit biru cerah. Bintang-bintang yang ternag. Bukan kah, selama engkau masih berputar, mereka akan selalu mengiringimu?!
Dunia. Sekian dulu aku menyapamu. Masih ada hal lain yang mesti aku kerjakan. Selamat malam dunia. Selamat malam juga, kamu!

Selesai
Thanks for Reading
@stupidvita

Sabtu, 27 April 2013

Bahkan Sepagi inipun, Aku Sudah Mencintaimu

04.00
Aku terbangun dari tidurku yang tak lelap. Biasanya jika sudah terlalu lelah karena pekerjaan, aku mampu tidur lebih lama dari ini. Tapi tidak kali ini. Aku memutuskan untuk duduk sejenak sebelum akhirnya aku membasuh wajah.

04.02
Aku ingat kamu. Bukan hal yang tidak biasa. Setiap waktuku ada kamu. Apa yang aku kerjakan selalu disertai bayangmu. Aktifitasku tak terjeda untu memikirkanmu. Kamu sebagian hidupku. Senyummu, tawamu, tindak-tandukmu, caramu becanda, caramu berkata, adalah sebagian besar fikiranku.

04.05
Aku memutuskan untuk tidak dulu menuju toilet. Aku bangkit dari kasur untuk menyalakan laptop. Langsung kubuka folder fotomu. Wajahmu membiusku. Tanpa sadar aku tersenyum dengan semua posemu. Senyumu, getarkan hatiku. Wajahmu, beningkan mataku. Aku rindu. Aku mencintaimu.

04.08
Aku belum memalingkan tatapanku dari gambarmu. Sosokmu yang selalu jelajahi hatiku, membuatku ingat semua tentang kamu. Aku memutuskan untuk mengingat kebahagiaanku memilikimu:
Dalam wajah yang sedang kulihat ini, aku lihat kebaikan. Kebaikan yang selalu membuatku merasa disayang. Kebaikan yang selalu menuntunku untuk bahagia. Aku beruntung memilikimu.
Dalam wajah yang sedang kulihat ini, aku lihat sebuah kenyamanan. Membuatku merasa mempunyai “rumah”. Kenyamanan yang selalu menuntunku untuk tenang. Aku beruntung mempunyai tempat mengadu. Kamu.
Dalam wajah yang sedang kulihat ini, aku lihat sebuah teka-teki. Membuatku bertanya-tanya apa jawabannya. Membuatku selalu berhati-hati. Aku takut menyakiti.

04.15
Aku masih melihat-lihat wajahmu. Tibalah pada foto kita berdua. Aku melihat guratan bahagia itu. Guratan bahagia itu ada diwajahku. Foto ini adalah fotoku yang sedang menggandeng tanganmu. Andai bisa kuperintah benda mati itu, aku ingin perintahkannya untuk memelukmu.
  
04.16
Aku melihat bulan yang masih bulat sempurna, dibalik jendela kamar. Cahayanya membias kuning. Indah. Paling terang diantara hamparan cahaya langit yang masih malu untuk berganti warna.
Aku ingat semua tentang aku dan kamu. Dari awal bertemu, dari awal merindu, awal aku rasa sendu. Hatiku penuh denganmu.

Sebenarnya tidak penuh dengan bahagia. Sebagian bahagia kubagi dengan rasa khawatir. Khawatir akan banyaknya kemungkinan. kemungkinan kamu tidak merasa apa yang aku rasa. Kemungkinan kamu tidak hanya membagi perasaanmu padaku. Kemungkinan akan harimu yang dipenuhi dengan orang lain selain aku. Khawatir akan kamu yang tak bahagia bersamaku. Aku khawatir akan semua itu.

04.20
Aku ingin memikirkanmu sambil merasa aroma segarnya angin pagi ini. Masih sangat dingin. Tapi dingin ini membuatku lebih berkonsentrasi membayangkanmu. lalu aku buka jendela dan duduk disana.

Bulan itu masih menguning. Seakan mengizinkanku untuk melihat cahayanya lebih lama.

 Sayang, akankah hal yang sedang kulakukan sekarang ini, akan kita bagi nanti?!
Sayang, kuharap kekhawatiranku padamu tadi tidak terjadi didunia nyata. Semoga harapku yang selalu ingin kau temani, Tuhan kabulkan diawal pagi ini.  Semoga semesta berkenan selalu memberi kesempatan pada kita tuk membagi hari, hati, setia, suka.
Sayang, aku tau. Hubungan kita tak seriuh dunia. Hubungan kita sesederhana kita berdua. Tapi sederhana kita kuyakin akan membuat dunia terbuai karena ada kita didalamnya.

Hai satu-satunya lelakiku, wajahmu tampak jelas dilangit yang masih hitam itu. Bolehkah aku puji kamu sebagai yang terindah dibanding sisa-sisa perhiasan malam?! Ya, dibanding hiasan dilangit saat ini, wajahmu lah yang paling bersinar. yang paling aku inginkan tuk dilihat..

04.30
Aku beranjak dari jendela. membuka gordennya lebih lebar. Sambil tersenyum aku ingin membasuh wajah dan sebagian anggota badanku yang lain. Agar bayangmu lebih jelas dalam doaku. 

Memikirkanmu saja membuatku biru dilanjut rindu. 

Bahkan sepagi inipun, aku sudah mencintaimu..

Selesai
Thanks for Reading

@snvita

Rabu, 24 April 2013

Cinta di Masa Kecil


Chacha : Nanti aku kalo udah gede mau nikah. Sama laki-laki yang ganteng, pinter, kaya, baik.

Fildzah : Ih, sempurna. Mana ada laki-laki kayak gitu. Laki-laki gitu tuh cuma aku. Berarti kamu mau nikah ama aku, dong?!

Chacha : Masa? Emang kamu baik? emang kamu ganteng? kamu kaya?

Fildzah : Iya. Suatu hari nanti aku pasti seperti itu. Makanya kamu tetep disini sama aku. Biar pas aku ganteng nanti, kaya nanti, baik nanti, kamu nggak rugi.

Chacha : Emang rugi kenapa? Aku nggak suka sama kamu!

Fildzah : iya sekarang mungkin nggak. Nanti-nanti kan siapa yang tau?!

Chacha : Emang apa yang kamu tau tentang cinta? Kita sama-sama anak berumur tujuh taun.

Fildzah : Nggak tau. Tapi yang aku tau, aku harus jadi laki-laki kaya, laki-laki baik, dan yang pasti ganteng.

Chacha : Biar aku suka sama kamu ya, nanti? Itu kan yang aku sebutin barusan. Berarti kamu mau jadi apa yang aku mau. Ya, kan? Hahaha

Fildzah diam

Fildzah : Nggak ko. Aku bahkan nggak ngerti apa-apa. Nggak tau apa itu suka. Apalagi cinta. 

Chacha : terus tadi apa?!

Fildzah : Hm, nggak. Aku hanya mencontoh Papa. Papa baik, Ayah seorang yang selalu berusaha untuk mempunyai apa yang harus kita miliki, pinter lagi. Papa juga tampan. Lihat saja aku. Aku ganteng kayak Papa, kan?

Chacha : Berarti aku bakalan suka sama Papa kamu, dong?!

Fildzah : Kenapa?

Chacha :Karena apa yang aku ingin ada di Papa kamu.

Fildzah : Ya jangan dong!

Chacha : Kenapa?

Fildzah : Papa milik Mama. Kita nggak boleh ambil apa yang sudah milik orang lain.

Chacha : Oh. berarti kamu harus jadi seperti Papa kamu. Biar nanti kalo aku udah gede, aku sukanya sama kamu Fild.

Fildzah : Milik kita diambil orang itu menyakitkan. Robot-robotan aku yang Bondan ambil waktu itu juga, aku sedih. Apalagi manusia yang direbut.

Chacha : Gitu ya.

Chacha mengangguk. Mereka berdua sama-sama diam.

Fildzah : Tapi Papa bercerai sama Mama. Yang aku tau, bercerai itu artinya berpisah. Buktinya aku tinggal sama Papa sekarang. Ketemu Mama seminggu sekali.

Chacha : Berpisah itu sedih?

Fildzah : Sedih. Mungkin. Soalnya aku pernah liat Papa nangis sendirian. Aku datangi Papa buat tanya kenapa. tapi Papa usap air matanya. Mungkin malu.

Chacha : Kalau buat perempuan, berpisah itu sedih?!

Fildzah : Sedih. Mungkin. Soalnya aku pernah liat Mama nangis sendirian. Tapi beda sama Papa, Mama nangis sambil peluk aku. Mungkin Mama butuh temen buat nangis. Biar nggak nangis sendirian. Dan itu berarti kalau orang yang sama-sama mencintai berpisah, mereka akan nangis. Sedih

Chacha : Itu berarti perempuan dan laki-laki itu beda? Laki-laki itu sok tegar. Kalau perempuan lebih apa adanya.

Fildzah : Aku nggak ngerti. Aku hanya berkata apa yang aku lihat. tapi mungkin iya. Papa nggak mau terlihat lemah. Papa itu laki-laki. Dan mama hanya ingin memperlihatkan kelembutannya. Walau dalam tangisan.

Chacha : kamu tau banyak.

Fildzah : Aku hanya berkata apa yang aku lihat. Kan aku udah bilang.

Chacha : jadi, nanti kalau udah gede, kita pilih siapa?

Fildzah : kamu cantik dulu aja. Nanti aku pilih kamu!

Chacha diam. Berfikir. Mereka sama-sama tertawa. Tawa yang tulus dan jujur. Khas anak-anak.

Ketika Semua Tak Ada yang Kebetulan.


Aku tau, tidak ada satupun didunia ini yang kebetulan.
Semua telah dirancang oleh Tuhan.
Apapun itu. Masalah, pertemuan, papasan, berjauhan, perpisahan.
Walau entah apa maksudNya.

Ketika aku terbangun diselaput pagi, dan dengan sengaja berdiam didepan kamar sambil melihat matahari yang bersiap terbit. Aku langsung terfikir tentangmu.

Ada yang salah dengan hubungan kita.
Dan aku tau itu bukan kebetulan semata.

Aku tak terbiasa dengan hati biasa-biasa saja padamu. Tapi ketika marahmu kau ledakkan, kebiasaanmu yang aku tak suka kembali kau lakukan, perasaan biasa-biasa itu selalu kembali datang bersemayam.

Aku juga tau, mencintaimu adalah sebuah keharusan aku menerima semua yang ada dikamu. Sifat, sikap, amarah, tawa, dengki, haru, kecewa, bahagia, terluka. Dan inipun bukan suatu kebetulan yang kamu miliki yang harus aku terima.

Tapi ketika aku rasa hal seperti ini, bukan juga ini rasa yang kebetulan lewat. Feeling dan hatiku sudah terasah untuk itu. Untuk merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin sekarang aku tau. Kamu tidak mencintaiku.

Baiklah, semoga apa yang aku prediksi itu salah. Tapi aku punya penilaian lain.

Dari apa yang selalu kamu lakukan padaku, aku tau sesuatu. Bahwa kamu tidak ikhlas mencintaiku.
Setiap kamu tidak bisa mengendalikan marahmu padaku, aku tau sesuatu. Kamu tak pernah mau peduli perasaan lemahku.
Kala kamu memperlakukanku tidak sebaik kamu perlakukan mereka, aku tau sesuatu. Ada yang salah dengan hubungan kita.

Kembali lagi bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan.
Tidak kamu lakukan itu dengan ketidak sengajaan.
Aku tak akan tau maksud Tuhan.
Mungkin kamu jalanku untuk selalu belajar sabar.
Sabar bahwa baik dan benar dalam melakukan, adalah suatu kewajaran dalam sebuah hubungan.

Jadi belajarlah dariku dalam menghadapi kemarahanmu.
Lalu aku belajar darimu bagaimana kau lakukan kesabaran.
Belajarlah padaku apa arti mengalah.
Lalu aku belajar padamu apa arti ketenangan.

Maka kita akan sama-sama belajar.
Belajar dari semua ketidak mampuan yang kita belum coba.
Kita akan sama-sama belajar bagaimana cara menerima.
Sama-sama bercinta dengan rasa sayang yang benar-benar.
Bukan karena keterpaksaan.

Karena aku tak pernah mencinta tanpa hati yang penuh.
aku tak pernah mendengki kala hati tersakiti.
Begitupun padamu.

Benahi apa yang menurutku salah.
Aku akan benahi apa yang menurutmu kurang.
Ikhlaskan hati kita untuk saling menerima kekurangan.
Maka aku berjanji, matahari pagi yang sedang aku lihat sekarang ini, akan kubagi untuk masa depanku bersamamu nanti.

Selesai
Thanks for Reading
@snvita

Jumat, 12 April 2013

Gini-gini Aku Takut Kehilangan Kamu


“Kenapa sih kamu rewel aja?!” Katamu padaku

Pertanyaan itu sering kamu lempar padaku. Aku jawab hanya dengan memanyunkan bibirku. Bukannya apa, aku nggak ngerasa rewel. Tapi mungkin, hanya sedikit. paling nggak, kan nggak sepenuhnya rewel. Atau ya aku akui rewel. Tapi aku selalu punya alasan. Ahh sudahlah..

Aku dan kamu kan sudah pacaran udah beberapa bulan, dan yang aku rasakan, aku emang manja sama kamu. Semoga kamu nggak keberatan.

Aku sering bertindak berlebihan sama kamu. Dan kamu sering anggap nggak sopan. Padahal waktu aku berlaku seperti itu, aku lagi nggak tau, sikap apa yang bisa membuat kamu lebih memperhatikanku.

Kamu adalah satu-satunya pria yang susah aku perlakukan dengan “baik”. Hehe. Maksudnya, aku nggak bisa perlakuin kamu seperti biasa aku perlakukan pria sebelumnya. maafkan aku, bukan karena aku nggak menghargai kamu, tapi aku bingung harus kayak gimana. Aku nggak mau terlihat terlalu cinta. Pernah patah hati bikin aku nggak mau terlihat begitu “menginginkan”. Tapi jangan hawatir. Perasaanku padamu nggak bisa buat diragukan.

Jangan mengira aku nggak adil. Jangan mengira aku egois. Perasaan aku ke kamu itu emang nggak berwujud. Mungkin seperti pendaran cahaya dari luar kedalam kamar yang gelap. Tapi siapa tau, kalau cahaya itu adalah pelangi? Atau cahaya berbayang bintang. Hanya saja cahaya itu nggak ingin terlihat berlebihan, nggak ingin berwujud nyata. Hanya membendarkan cahaya, hanya cukup menerangi, secukup kamu membutuhkan.

Hal terbaikku mengenal kamu adalah memaafkan. Aku dari dulu memang gampang memaafkan. Tapi nggak segampang setiap aku melihatmu. Semarahnya aku, sekesalnya aku, aku selalu bisa dengan gampang memaafkan dan berharap peristiwa kesalahan itu nggak terulang. Walau masih dendam dan sering keingetan, tapi kesal itu gampang hilangnya. Pernah dengar lirik lagu yang isinya “Kau sanggup taklukan hati dengan sebuah senyuman..?” Itulah yang aku rasa sama kamu. Marah, liat wajah kamu aja, hati langsung bisa biasa lagi. Itu alasan kenapa aku nggak bisa marah sambil lihat wajah kamu :)

Hal lainnya adalah, aku belajar untuk sabar dalam sebuah kepercayaan. Ya, sabar dalam mempercayaimu..

Sejujurnya aku takut kalau kamu lagi marah. Aku melawan karena aku nggak mau terlihat salah. Aku takut kamu memperlakukanku seenaknya. Ataupun terkadang keegoisanku yang buat aku nggak mau terkesan kalah. Sejujurnya aku nggak tahan kamu mendinginkanku lama. Itu alasan kenapa aku selalu langsung memeluk atau sekedar memegangi tangan kamu setiap marah dan ingin pulang kerumah. Itu aku lakukan bukan karena aku tidak menghargai kamu bicara. Aku hanya ingin kita kembali bermesra.

Apa yang harus aku lakukan kalau apapun tujuanku itu salah dimata kamu?! Kadang aku berfikir, yang salah itu aku yang berlaku, atau kamu yang merasa?! Itu alasan, kenapa aku nggak bisa terlalu memperlihatkan perhatian dan rasa cinta.

Aku selalu ingin dimanja, bukan karena aku yang terlalu sombong. Tapi aku hanya ingin merasa teristimewa ketika keadaan aku dan kamu mulai biasa-biasa. Apalagi ketika kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Aku emang rewel akan hal kecil. Contohnya balasan sms yang lama. Bukan aku mencari masalah, tapi aku hanya ingin ada sedikit waktu yang kamu luangkan dengan cepat.

Semuanya aku yakin, kamu anggap alasan-alasanku nggak masuk akal. Tapi hatiku yang membimbing aku, untuk menuliskan semua itu. Aku tulis dari sudut pandangku.

Semua orang mencinta dengan caranya masing-masing. Cara yang pasti berbeda. Penyesuaiannya tidak akan sama. Mungkin ini caraku menunjukkan cinta padamu. Dengan kerewelan dan kemanjaanku selalu mericuhkan hari-hari kamu agar dapat perhatian. Jika caraku ini salah, maaf. Jika caraku ini membuatmu tidak nyaman, maaf. Ya, cinta terkadang berdasarkan pada kata maaf. Jadi jika kamu juga punya rasa yang sama denganku, kamu akan memaafkan semua kekacauan yang aku buat

Aku sering memperlihatkan mimik muka tidak peduli pada masalah-masalah yang lagi terjadi antara aku dan kamu. Aku sering beebicara dengan nada yang cuek saat menjelaskan suatu masalah. Tapi bukan berarti aku rela kamu pergi begitu saja. Hatiku sering berdoa secara tidak sengaja. Agar kamu tetap disini. Gini-gini aku takut kehilangan kamu..
Selesai
Thanks for Reading
@snvita

Kutemui Pria ditepi Hati


Aku memarkirkan mobil dipinggir jalan ini. jalan sepi. Jalan yang sebenarnya tak ingin kulalui. Jalan ini tak ingin aku injaki lagi. jalan yang penuh dengan kenangan.

Pria itu sudah menungguku. Sepertinya dari tadi. Dia mematung mengadap taman dibawah bukit. Yang dulu sering kami singgahi. Terlihat siluet badannya yang tegap darisini. Matahari sore ini memihaknya untuk bertemu dengan aku. Walau hatiku sudah tak mau ada temu. Tapi sepertinya ada hal teramat penting yang ingin pria ini utarakan.

Aku turun dari mobil. Dan memutuskan untuk segera menghampirinya.

Dia menyadari kedatangan seseorang dibelakangnya. Kedatanganku. Langkahku terayun rapi. Aku tidak ingin terlihat gugup. Ya, setelah bertahun aku tak bertemu dengannya, membuat jantung berolahraga sedikit lebih cepat.

Dia kembali melihat kearah taman. Aku sudah sejajar dengannya sekarang. Matahari melembutkan sinarnya. Awan meneduhi kami. Sore ini cerah sekali. Indah. Namun dia tidak lagi sendiri.

Dia bertanya bagaimana kabarku. Aku jawab seperlunya, tanpa aku bertanya balik. Wangi tubuhnya tercium lembut hidungku. Wanginya masih sama seperti dulu. Saat hari dan waktunya hanya untuk aku.

Aku ingin sekali menatap wajah itu. Tapi masih canggung dan kaku. Kembali aku teringat kejadian pilu. Saat dia memutuskan untuk pergi dengan wanita lain. Memutuskan untuk mencintai selain aku. Saat kita masih bersama. Dulu.

Dia memutuskan untuk menikah dengan waniita lain. Aku tak tau siapa wanita itu? Siapa wanita beruntung yang akan menjadi istri pria ini. Pria yang tangguh, gagah, tampan. Aku tak begitu saja mau menerima. Hubungan kami memang belum terlalu lama. Tapi hatiku sudah terlalu yakin padanya. Keluarga kami belum sempat bertemu. Dia dan aku belum pernah bertemu dengan keluarga masing-masing. Tapi janji-janjinya. Harapanku untuk hidup lebih baik dengannya, dan keinginanku yang besar akan dia yang menjadi sosok pengganti ayah sangat besar. Ya, Ayah dan Ibu sudah bercerai sejak aku berumur empat tahun.

Aku tak tau apa rencana Tuhan kala itu. Apakah Tuhan ingin aku menderita?! Bercengkrama dengan perasaan ketidak adilanNya padaku. Berteman dengan ketidak bahagiaan setiap waktu. Kala Tuhan memisahkan aku dengan pria ini. Dan menjodohkannya dengan wanita lain, yang tidak lain adalah.... Ibuku?!

Aku menggelengkan kepala. Berusaha memudarkan kenangan kelam dan tidak lagi mengingat. Lembayung menjadi penghangat kami senja ini. Aku memutuskan untuk menatap wajahnya yang tersorot cahaya berwarna oranye. Biasan memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. Sorot matanya tak lagi sebersinar dulu. Mata itu lelah. Wajah itu lelah. Aku melihat semua kelelahan didirinya. Ada apa?! Aku yang masih sendiri sedari kepergiannya bersama ibu, ingin sekali menyentuhnya mesra. Tapi tak mungkin. Cinta itu harus sudah tiada. Dia kini menjadi Papa.
Lama kami mematung dalam lembayung, dia memulai untuk berbicara.

Kata maaf yang pertama kali ia ucap. Sebenarnya aku tak ingin mendengarnya. Semua telah terlambat. Pernikahannya dengan Ibu dulu ia lakukan tanpa maaf. Ia hanya berkata sangat mencintai wanita lain yang lebih matang dan baik.
Dia mulai bekata-kata padaku. Berkata dengan wajah masih menghadap taman. Tatapan itu datar. Kemana cahaya yang dulu ada?! Kemana cahaya dirinya yang dulu melekat dan selalu membuatku jatuh cinta?

Katanya, dulu saat dia memutuskan untuk menikahi ibu, karena ia belum yakin padaku. Terlebih lagi dia belum tau bahwa wanita yang akan dinikahi adalah Ibuku. Tapi aku tak pedulikan lagi itu. Apapun alasannya, ia tetap meninggalkanku dengan keadaan selingkuh.
Tapi kini dia sadari. Ibu bukan yang ia ingin. Juga bukan takdir yang ia butuh. Perbedaan duapuluh satu tahun antara dia dan Ibu membuatnya merasa tidak nyaman. Dia hanya melihat sosok seorang “ibu” dari Ibuku. Bukan istri. Katanya juga, ia terlalu sering mengingatku, yang sekarang menjadi anak tirinya. Bukan mengingat sebagai anak. Tapi mengingat sebagai wanita yang pernah dicintainya. Dan wanita yang tak ia pilih, karena perasaan semu belaka. Dan kini ia menginginkanku.

Tak pantas ia mengingatku sebagai itu. Dia menjadi milik ibu sekarang. Apapun alasannya, ia pernah dan sudah memilih Ibu. Tak bisa dia jadikan Ibu sebagai alasan kesalahannya dalam memilih. Dan yang paling membuatku shock adalah, perceraiannya dengan Ibu. Ya, dia memutuskan untuk bercerai dengan Ibu. Dan Ibu menyetujui hal itu. Walau bagaimanapun, aku sedih mendengar pernyataan dari mulutnya tadi. Dia dan Ibu tak seharusnya bercerai. Apa tidak ada lagi cinta dan alasan lainnya yang bisa membuat mereka tetap bersama?!

Dia berkata, bahwa dia mencintaiku. Ternyata yang ia cintai adalah aku. Waktu yang berlalu karena kesalahannya tetap tidak bisa kembali. Tapi dia menyesali pernah meninggalkanku. Mungkin karma atau struktur waktu yang membuatnya seperti itu. Tapi apa salah Ibuku?! Aku murka mendengarnya.

“Aku memang mencintaimu. Dan jujur saja sampai sekarang aku tetap mencintaimu. Melihat kemesraanmu dengan Ibu membuatku amat cemburu. Itulah alasan mengapa dengan menggebu aku ingin pergi dari rumah agar jauh dari ibu dan dirimu. Awalnya aku memang tak bisa menerima semua itu. Aku tak rela kau menikahi Ibuku. Aku tak suka melihat kebahagiaan Ibu disampingmu karena aku sangka kamu adalah takdirku. Aku memang menginginkanmu menjadi sosok pengganti Ayah, sebagai suamiku. Bukan benar-benar menjadi ayah tiriku. Tapi aku sudah dewasa. Hatiku terasah untuk selalu memaafkan. Aku relakan kamu bersama Ibu. Ibu adalah kebahagiaanku. Juga kamu.Aku dewasa karena turuh bangga mampu melepaskan dua kebahagiaanku agar menjadi satu. Aku memang menginginkanmu. Tapi mungkin ibu membutuhkanmu. Aku ingin kamu menjadi takdirku. Tapi takdir ingin kamu menjadi takdir Ibu. Walaupun Ibu akan tak lagi bersamamu, dan kamu mencari takdir lain, biarlah orang lain yang menjadi jodohmu. Bukan aku”

Akhirnya aku membuka mulut, berbicara seperti itu padanya. Kami berdua tetap diam. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi aku memang benar-benar tidak mau lagi dengannya. Ah sudahlah. Semua telah berlalu. Apapun keputusannya dengan Ibu. Aku sudah tidak ingin tau.

Tanpa pamit aku meninggalkannya yang masih tak mau berucap. Tatapannya makin redup. Cahayanya makin pudar. Aku sudah tak lagi memedulikan dia. Kemanapun cahaya itu pergi, aku tetap akan meninggalkannya. Aku berjanji dalam hati untuk segera menemui Ibu. Janjiku juga, untuk tidak menemuinya Seumur hidupku.

Dia hanya pria ditepi hati. Tempatnya kini hanya ditepian hatiku yang tak layak lagi dia tempati. Tersapu anginpun dia terhempas mati. Salahku selama ini, mementingkan ego untuk memusuhi Ibu. Dia meyakinkanku bahwa Ibu tak pernah tau cerita masa lalu kami. Dan aku harap Ibu tidak pernah tau kisah kami. Kisahku yang kini sedang kutemui lagi. Seorang pria ditepian hati.

Sekian
Thanks for Reading
@snvita