Minggu, 31 Maret 2013

Kusebut ia Ayah


Saat aku memulai untuk menulis ini, kusempatkan diri untuk menatap beliau sedikit lebih lama dalam tidur lelahnya. Tidak terasa mataku layu dan airnya menetes.

≈≈≈

Cuaca hari ini panas. Juga dengan aku. Lelah, penat, kesal, bete, marah, semua menyatu menjadi gelombang negatif yang merasuki tubuhku. Mood sudah menyatakan bahwa ia sedang tidak ingin bersahabat untuk beberapa waktu. Sudahlah hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu.

Aku masuk kedalam rumah dengan keadaan yang sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk ditanya. Aku hanya ingin masuk kamar, menyalakan kipas angin, merebahkan badan, sambil mendengar musik instrumen yang kuharap bisa menenangkan.

Aku mulai memasuki ruangan dimana Ayahku ada disana. Sedang membuat kopi yang sudah pasti, untuk dirinya sendiri. Aku menyapanya sedikit dengan kata-kata yang setiap kali pulang entah darimana, pasti aku ucapkan. “Aku pulang”.
Ayah menengok kearahku. Seperti biasa, tatapannya hangat. Ya, tatapan itu selalu terhangat dari siapapun yang pernah menatapku. Tatapan itu ramah. Dan nggak ada pencitraan agar terlihat “lebih”. Tatapan itu apa adanya.

Aku menaiki tangga menuju kamarku dilantai dua. Ayah menyuruhku untuk makan saat aku masih berjalan ditengah-tengah tangga. Aku menghiraukan perintahnya. Aku masuk kedalam kamar dengan lunglai. Memasrahkan tubuh tertidur diatas kasur. Aku berharap kasur memanjakanku dan membuatku tertidur lebih cepat.

Tapi Ayah datang. Membuka pintu kamarku dan menyuruhku untuk makan. Seperti pada perintahnya yang barusan, aku masih menghhiraukan. Dan berkata “Nanti”. Simpel. Aku nggak mau diganggu siapapun sore ini. Termasuk Ayah. Seakan tidak mengerti inginku, Ayah tetap menyuruhku untuk makan. Aku tau, aku capek dan butuh makanan untuk mengembalikan tenaga yang terkuras hari yang melelahkan ini. Tapi aku lebih butuh sesuatu untuk mengembalikan mood yang hilang. Aku menutup mata dengan tanganku.
Ayah meraih tanganku, “Makan dulu, nasinya masih panas”.

Aku mulai bete dengan saran Ayah yang satu ini. Aku mengubah posisi menjadi duduk dan menatap Ayah dengan tatapan kesal, tetap tidak berkata apa-apa. Tapi kali ini Ayah mengerti apa yang aku inginkan. Ayah keluar kamar. Ayah sudah hampir menutup pintu kamarku saat Ibu berjalan dibelakangnya dan berhenti tepat didepan kamarku. Aku melihat kearah mereka berdua. Tatapan Ayah dan Ibu beradu saat itu. Seakan mengisyaratkan bahwa Ayah memang tidak boleh menggangguku.

Kasur tidak bisa membuaiku. Aku tidak bisa tidur. Lalu kuputuskan untuk keluar rumah, mencari kesegaran lain selain kipas angin.
≈≈≈
Aku berhenti ditaman depan komplek. Taman yang sedang diisi oleh segerombolan anak-anak bermain bola, bisa membuatku terhanyut dalam lamun.

Dalam lamunan, aku melihat seorang bapak yang belum terlalu tua. Mengasuh anak perempuan kecil, yang umurnya kira-kira masih sekitaran empat tahun. Anak kecil yang lucu dengan dua kunciran dikepalanya. Sang bapak terlihat sangat bahagia memiliki anak perempuan itu. Dibelikannya baju yang bagus, mainan yang banyak. Makanan manis yang khas anak-anak. Dan kasih sayang yang tidak bisa diragukan.

Tapi satu sisi aku melihat bapak tersebut bekerja sangat keras. Hampir sepanjang waktu dan setiap hari ia melakukan pekerjaannya. Tanpa ragu ia mengerjakan apapun dihadapannya. Tujuannya satu. Untuk anak perempuannya itu.

Dalam lamunku itu, aku juga melihat bapak itu bangga memakaikan pakaian seragam SD pada anaknya. Ia pakaikan topi berwarna merah pada anak perempuan yang sepertinya mulai memasuki usia enam tahun. Anak yang polos, senyumnya mengembang bahagia dengan mata yang berbinar. Bapak itu menuntun anaknya untuk pergi kesekolah pertama kali. Sungguh pemandangan yang paling romantis yang pernah aku saksikan antara seorang ayah dan anak.

Berangsur waktu mengalir, dalam bayanganku, anak perempuan itu sudah mulai beranjak remaja. Berganti seragam, hingga punya pacar. Bapak yang sudah mulai menua itu kurang bisa menerima pacar pertama anaknya. Dibayangan lain aku tau, alasan kenapa bapak tadi kurang menyukai pacar anaknya. Karena cemburu. Anak perempuan itu akan mempunyai fokus lain selain ia dan belajar.

Bapak itu mengompres anak perempuannya yang terbaring lemah. Matanya sayu. Menahan tangis saat melihat anak kesayangannya pingsan. Aku lihat bapak itu pura-pura tegar dan membisikkan sesuatu pada telinga anaknya, dan aku tidak bisa mendengar ia berkata apa.
Lamunanku itu terus berlanjut. Menyadurkan cerita ke cerita. Mengisi setiap kekosongan kata dalam bayang. Hingga akhirnya anak perempuan itu beranjak dewasa. Dan umur bapak itu sudah tidak bisa dibilang muda.

Anak perempuan itu terbentuk manja. Serba bergantung pada sesuatu yang dianggapnya nyaman dan terbiasa. Tapi bapak yang sudah mulai tua itu masih semangat mengais rezeki yang Tuhan titip pada Malaikat disetiap harinya. Bapak itu setia dengan pekerjaan yang melelahkannya, hingga sekeping - dua keping uang, Malaikat bagi padanya. Bapak itu tidak pernah lupa bersyukur dengan memberikan apapun yang anak perempuannya itu mau. Aku juga lihat, usaha bapak itu sangat luar biasa. Tanpa pamrih dan puji, ia terus mendewasakan, menjaga, menyayangi, sabar, menjadi tempat berbagi kisah dan keluh kesah sang anak perempuan yang saat ini menginjakkan umur baru. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

Ya, pemandangan yang sedari tadi aku lamunkan adalah pemandangan aku, bersama Ayahku. Cerita didalamnya terangkai apik, mengalir begitu saja.

≈≈≈

Aku terbangun dari lamunan saat bola yang sedang anak-anak didepanku itu mainkan, bergulir tepat menyentuh kakiku. Aku menendang kearah mereka. Lalu mereka kembali asyik dengan sepak bolanya. Tawa mereka khas anak-anak yang tidak punya beban. Lalu aku dan beban keseharianku?! Aku kembali teringat Ayah. Ayah selalu ada disetiap moment hidupku. Tidak peduli aku masih kecil atau mulai beranjak dewasa seperti sekarang. Tidak peduli senang atau saat moodku seperti ini. Tapi tidak denganku. Aku memutuskan untuk pulang kerumah.

Aku kembali membuka pintu rumahku. Ibu sedang mengerjakan sesuatu didapur. Ayah sedang duduk di depan TV. Aku duduk disampingnya. Tatapan ramah itu menyapa dengan hangat. Tatapan tulus yang selalu memaafkan tanpa berkata. Tatapan itu menatapku sambil tersenyum. Tangannya mengusap pelan kepalaku. Aku balas menatapnya dengan penyesalan yang bertumpang tindih dihati. Ayah tidak pernah dendam dengan kekesalan dan kesalahanku padanya, yang aku sendiri tau, itu dosa.

Ayah bertanya darimana aku?! Aku menjawab hanya dengan gelengan kepala. Lalu ia memerintahkanku hal yang mungkin sudah lebih dari tiga kali disore ini. “Nasinya udah mulai dingin, jadi cepet makan. Nanti nggak enak”

Aku tertawa kecil karena ucapannya. Dan bahagia setelahnya.

Apa yang Ayah ingin dariku sederhana. Hanya makan. Dan selalu sederhana karena tidak pernah menuntut lebih apa-apa.

Aku menyayanginya tapi Ayah menyayangiku lebih dari siapapun. Aku membanggakannya yang kuat, Ayah banggakanku sebagai anaknya yang hebat.

*Terimakasih telah mengajarkanku bermain sepeda. Menjadi orang pertama yang tau saat aku haid untuk pertama kali. Menjadi orang paling dramatis kala aku sakit. Menjadi orang paling sibuk mengurusi kebodohanku. Aku beruntung memilikimu. Dan aku yakin, didunia, Ayah sepertimu hanya satu. Dan hanya aku pemiliknya. Semoga Tuhan memberimu kasih sayang terindah yang Tuhan pernah beri untuk umatNya. Semoga Tuhan menghadiahimu Kasih sayang, juga rezeki yang melimpah. Dan surga bagimu, Ayah*

Selesai
Thanks for Reading
@snvita

Minggu, 24 Maret 2013

Please, udah ya. Cukup..


“Kamu mau kemana? Jalan sama cowok lain ya?!” ucap seorang diujung telepon disana.
“Nggak kok. Aku ingin istirahat aja.” Jawabku
“Ih, kesini lah. Aku kangen tau, aku pingin ketemu kamu”
“Aku lagi males kemana-mana. Kuliah pulang malem terus.Weekend ini aku harus istirahat”
“Tapi bener, kan, kamu nggak jalan sama cowok lain?” Tanya nya keukeuh
Aku memutar bola mata, males jawab.
“Halo?” Katanya memastikan bahwa aku masih dalam sambungan telepon.
“Ya...”
“Ih, nggak jawab. Jangan-jangan kamu emang jalan ama cowok lain, lagi”
“Nggak, aku bilang nggak. Aku cuma pingin istirahat total hari ini..”
“Aku kan kangen tau. Udah seminggu ini aku sibuk dan nggak ketemu kamu. Hari ini aku mau ada yang dikerjain, aku pingin dikerjainnya sambil ditemenin kamu.”

Tengkukku panas. Aku mulai nggak nyaman dengan situasi ini. Tapi mulutku masih kelu untuk menyampaikannya.

Aku masih dalam diam

“Halo?!” Katanya lagi
“Ya...” Jawabku singkat
“Kamu kenapa sih daritadi diem aja?! Aku ganggu? Aku kan cuma pingin kamu kesini, temuin aku. Lagian biar kita ketemu. Seminggu kan kita nggak ketemu! Kenapa sih nggak ngerti aja!” Dia terus berceloteh. Ingin bertemu denganku.

Sebegitunya. Ada apa sih dengannya?! Aku udah nggak mau diam terus kayak gini. Aku ungkapin sekarang juga!

“Aku....” Ucapku dengan nada lembut, dia memotong ucapanku.
“APA! Kamu nggak mau ketemu aku lagi kan?! Kenapa coba kamu ngga bisa nger...”
 “Dengerin aku dulu. Aku pingin ngomong serius sama kamu.”
“Apa?”
Aku menghela nafas agak panjang..
“Kita ini apa sih?!” Tanya ku.
Dion tidak menjawab apapun. Sepertinya pertanyaanku membuatku bingung.

“Maksudnya? Akhirnya dia menjawab.
“Ya. Kita ini apa?! Kita udah putus, kan? terus kenapa kamu terus-terusan deketin aku? minta supaya kita ketemu, dan aku nemenin kamu. Kamu marah kalau aku gak mau turutin mau kamu. Kamu jauhin aku. Dekati lagi”
“Ya, tapi aku sayang kamu.” Ucapnya. Enteng
“Sayang? Dulu kamu yang putusin aku!”
“Ya tapi...”
“Tapi apa?”
“Kamu juga, kayak yang seneng-seneng aja”. Ucapannya membuatku sedih. Maksudnya apa, sih?!
Aku hanya tau apa yang harus aku ucapkan padanya. Tapi aku nggak tau bagaimana cara menyampaikannya. Entah karena masih cinta, atau segan untuk berkata. Bertahun aku utamakan untuk mencintainya. Tapi persoalan datang dan berganti pada waktu yang berdekatan. Dia memutuskan untuk tidak lagi ingin bersamaku. Akupun menyetujui inginnya. Tapi sikapnya selalu seakan membuatku harus tetap mencintainya lagi. Dia begitu licik menurutku. Dia membuatku seakan dia membutuhkanku, lalu mendiamiku lagi. Dia selalu membuatku tetap sendiri mencintainya, tapi lalu dia pergi lagi. Dia menerbangkanku dan membuatku seakan istimewa, dalam waktu yang bersamaan, dia menjatuhkanku lagi seakan aku bukan siapa-siapa.

Aku memutuskan untuk menutup sambungan telepon ini.

“Kenapa main tutup gitu aja?! tuhkan, kamu nggak mau ketemu aku, kamu juga ngakunya pingin sendirian weekend ini,  nutup telponnya nggak bilang2. Itu berarti kamu emang udah nggak mau ketemu aku lagi kan? udahlah ngaku aja. Terserah kamu skr!”

Hpku berdering saat chatting itu masuk. masih darinya. Dia mengirimiku pesan itu saat aku menutup telepon begitu saja, tadi. Aku memang tidak bisa kalau harus berkata apa yang aku inginkan secara langsung. Aku memutuskan untuk mengiriminya balasan.

Aku sayang sama kamu. Dari awal kita pacaran, aku selalu berusaha untuk “Sebagus” yang kamu mau. Tapi seperti yang kamu tau, dari dulu sampai kita berpisah, aku berusaha sendiri. Aku berusaha mempertahankan hubungan kita, sendirian. Aku menguatkan hatiku saat kamu pergi, cuek, marah2, baik lagi, jutek lagi, datang lagi, pergi lagi. Sampai hatiku udah kebal dengan semua itu. Berbulan aku belajar untuk kesendirianku, tapi kamu datang lagi. Bawakan aku harapan lagi. Aku mencintaimu lagi, dan kamu pergi lagi. Terus seperti itu. Apa salahku?! Kamu selalu membuatku tidak mencintai orang lain selainmu, tapi sikapmu selalu membenamkan lagi untuk itu. Aku ingin mempunyai mimpi lain selain kamu, tapi kamu selalu membuatku seakan aku tidak boleh terbangun. Aku benar-benar ingin pergi darimu, saat kamu memutuskan hubungan itu denganku. Tapi kamu selalu berhasil menghubungiku. Dan kamu tau?! kamu bilang, aku seneng2 aja kamu dekati lagi. Iyalah, aku yang masih mencintaimu, udah pasti senang akan hal itu. Tapi setelah itu?! kamu jauhi aku lagi. Seminggu ini aku benar2 ingin jauh dari kamu. Aku hindari semua tentang kamu, aku ingin biasakan hatiku tidak untukmu. Kamu yang ingin berpisah denganku, tapi sekarang kamu yang bilang kamu sayang, dan selalu ingin bertemu. Tapi aku ingin hubungan kita kembali pacaran, kamu nggak mau. Jadi kita ini apa?! Bantu aku untuk itu. jangan hubungi aku kalau ujungnya buat jauhi lagi. Jangan buat aku seneng, kalau diakhir malam, munajatku pada Tuhan hanya karena aku galau. Nggak usah dibales lagi. Ini chatting terakkhirku. Semoga kita bisa dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik. Saat kamu, tidak memberiku harapan palsu.”

Aku selesai. Kukirim chatting itu padanya. Dan sesuai keinginanku, dia tidak membalasnya. Syukurlah. Hatiku tenang setelah mengirim chatting itu. Jika dia tidak berani untuk tegas, biar aku yang mengambil keputusan tegas ini. Aku pergi, dan benar-benar pergi. Pergi, karena aku ikhlas mencintainya. Karena aku, sayang hatiku dan tidak ingin membiarkannya terbuka untuk luka.

Hidup adalah dunia nyata. Dengan harapan nyata yang harus bisa didapat. Dan jika harapan itu semu, untuk apa hidup menyambutnya?! Aku mencintainya. Tapi tidak untuk dibahagiakan dengan kepalsuan. Kondisi tidak memihakku untuk terus berharap pada apa yang sudah tidak menjadi bahagiaku. Apa yang ada dihadapan, itu yang bisa aku jalankan. 

Semoga dia disana membaca dengan hati pesanku tadi, lalu mengerti dengan ini, Tuhan..

Selesai
Thanks for Reading
@snvita

Kamis, 21 Maret 2013

Menunggu


Diantara kalian ada yang nggak pernah menunggu nggak sih?! Kalau kata gue sih nggak mungkin. Tiap orang pasti pernah nunggu (lah.. kalo gitu ngapain nanya?!)

Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang gue baca, gue menemukan beberapa pengertian menunggu. Antara lain ; tinggal beberapa saat, tinggal untuk sementara, menantikan sesuatu, dan berharap.

tapi ditulisan gue ini, gue nggak akan menjelaskan hal-hal diatas yang gue sebutkan tadi. Karena guepun nggak ngerti maksudnya apa. Gue ingin berbagi hati tentang menunggu versi gue. Apa itu?!

Buat gue dengan kepribadian nggak sabaran, menunggu adalah hal paling membuat gue benci. Menunggu menurut gue itu ada dua type.

Type pertama adalah menunggu jangka pendek. Menunggu jangka pendek ini sih masih bisa ditolerir, pasalnya, nggak buang-buang waktu amat. Walau juga sering sebel kalo keseringan. Contohnya gini nih, gue sering banget namu kesalah satu temen gue, nah yang bikin gue bete, temen gue ini tiap hidangin jamuan buat gue lama. Bisa berjam-jam, gue baru dikasih minum. Itupun hasil perdebatan yang panjang karena gue menggeliat kehausan. Mungkin karena dia bosen dengan adanya gue, yang paling nggak seminggu sekali nangkring dirumahnya.

Lain halnya dengan ngejamu tamu yang lama, kayak yang temen gue lakuin itu, menunggu seorang keluar dari toilet adalah hal dari menunggu jangka pendek juga yang gue nggak suka. Bukan karena gue bakal menggeliat kehausan, karena itu nggak mungkin, tapi karena gue emang nggak suka. Menurut gue, ritual ke toilet itu adalah ritual sakral yang wajib diutamakan dan paling nggak boleh dipending. Banyak alasannya, alasan pertama dan utama adalah kesehatan. Semua orang tau kalau menahan untuk buang air bisa menyebabkan penyakit.  Setuju?!

Type meunggu yang kedua adalah menunggu jangka panjang.
Beda dengan menunggu jangka pendek, menunggu jangka panjang 
adalah type menunggu yang paling nggak gue suka. Bisa dibilang benci. Karena disinilah gue merasa, kesabaran gue diuji seuji-ujinya, sampai kepangkal-pangkalnya. Contohnya langsung aja : menunggu seseorang.

Namanya sama, menunggu. Tapi menunggu kali ini beda. Ketika menunggu sudah melibatkan hati, menunggu berarti sudah menghancurkan intuisi. Gue nunggu terus, berharap terus. Nunggu lagi, berharap lagi.
Dan gue nggak suka menunggu versi ini, karena gue, mengalaminya.

Gue menunggu seseorang.

Gue mencintai seseorang, tulus dari hati yang paling dalam. Lebih dari apa yang pernah hati gue bagi pada yang siapapun. Sampai gak bisa diungkapin dengan kata-kata apapun. Dengan kalimat apapun.

Seperti pada umumnya pacaran, kita-kita pasti mengalami putus. Siapa sih yang mau hubungungannya berhenti hanya ditengah jalan, bukan dipelaminan?! Apapun itu alasannya, tetap saja, yang namanya putus itu menyakitkan.

Mau masih cinta atau tidak, putus cinta pasti meninggalkan segenap kenangan. Kenangan indah, kenangan romantis, kenangan diusir orangtuanya, dan masih banyak lagi kenangan pahit manis yang dulu pernah dilakukan. Buat yang sudah merelakan apalagi tidak cinta, putus cinta merupakan hal yang sudah biasa, karena hatinyapun sudah biasa-biasa.

Tapi bagi yang masih berharap dan masih ingin bersama?!

Tidak ada yang melarang kita masih berharap bisa kembali bersama mantan, atau seorang yang diharapkan. Karena itu urusan hati, dan kita tau, ketika hati sudah memilih, memutuskan untuk meninggalkannya lagipun kita pasti berfikir berulang-ulang.

Saat kita memutuskan untuk berpisah, dan pergi mencari hidup masing-masing yang baru, tapi perasaan kita masih terpautkan pada orang yang sama, apa sih yang harus kita lakukan?! Inipun yang gue rasain, gue bingung. Hubungan gue sama dia harus berhenti ditengah jalan begitu saja. Karena sebuah alasan yang, ya memang masuk akal. Dan gue relakan dia begitu saja. Gue ikhlas. Paling tidak, gue cinta sama dia, dan gue harus relain orang yang gue cinta untuk hidup baru yang lebih baik. Agar dia dapetin apa yang dia mau, dengan cara yang lebih lancar dan indah. Dan pasti, tanpa gue.

Tapi apakabar hati gue?! Gimana perasaan gue?

Setelah sekian lama gue sendiri, gue putusin buat tetap menunggu dia. Dengan alasan sebuah gue nggak bisa. Gue belum sekses ikhlas. Yak, gue bukan tipe orang yang gampang wara-wiri sana-sini. Setelah gue cinta sama satu orang, susah buat gue tancapkan hati pada orang lain. Cinta menurut gue adalah sesuatu yang sakral. Yang ada ‘ritual’ khusus buat ngedapetinnya. Dan pastinya itu nggak gampang. Jadi, kalau untuk sesuatu yang susah, apa harus gampang buat ganti cinta itu terganti?!

Hari-hari yang gue jalani saat masa-masa nunggu  seperti ini sama seperti hari-hari yang gue jalani sehari-hari. Nggak ada yang istimewa, karena gue istimewain dia, satu. ketika teristimewa pergi, apa yang istimewa lagi dihari-hari gue.

Ini beberapa alasan kenapa gue tetap menunggu dia buat balik dan ada lagi disini selain sebuah keyakinan gue yang masih yakin kita bisa bersama.

1.     Gue bukan orang yang baik. Bukan orang baik disini nggak berarti kriminal dll. maksudnya, gue nggak sebaik dia yang sadar secara agama. Siapaun didunia pasti ingin pasangan yang lebih baik darinya, kan.

2.    Oke, kalau alasan pertama adalah alasan klise, alasan kedua gue adalah, gue suka dia yang pintar! Seorang seksi itu ketika dia memiliki kelebihan pada kepintaranya.

3.    Dia biasa aja. Gue nggak terlalu suka sama orang yang banyak gaya, dan banyak dimacem-macemin. Apalagi karena maksain. Penampilannya yang biasa-biasa aja, itulah daya tariknya untuk gue. Dia beda.

4.    Gue dan dia punya satu kesamaan yang paling bikin gue yakin bakalan susah buat dapetinnya pada pribadi lain. Yaitu, gue dan dia sama-sama memiliki ‘dunia’ yang sempit. Gue sama dia ada diposisi yang sama. Dimana gue lah yang paling deket sama dia. Dan dia juga satu-satunya yang deket sama gue. Kita nggak bisa deket sama pribadi (lawan jenis) lain saat kita masih bersama dulu. Kita ngga bisa buat  bergaul dan berinteraksi dengan pribadi (lawan jenis) lain selain gue ke dia, dan dia ke gue. Sederhana, tapi istimewa.

5.    Ini yang (paling) menyedihkan, sebenarnya. Mungkin yang paling lebay (juga). Selayaknya orang pacaran, pasti memiliki janji masa depan. Entah pada akhirnya akan putus, dan merelakan masing-masing, atau akan terus memegang teguh janjinya sampai akhirnya janji itu tertepati, dihari takdir membahagiakan. yaitu, Gue dan dia pernah sama-sama mengucapkan keinginan hati kita untuk memiliki hidup bersama. Yang akan kita bangun dengan permulaan yang sederhana. Dengan dua orang anak-anak lucu dan pintar kita. Dengan keterbatasan dan kelebihan masing-masing. Gue ingin jadi pendamping dia. Dia yang akan jadi teman hidup gue nanti.Kelabu emang, kalau kita ingat janji-janji, kisah, dan perjalanan yang pernah kita lalui dulu. Masa depan yang sedang dia rancang untuk dibangun, adalah yang terpenting sekarang. Waktu sedang menunggunya untuk membaktikan sebuah kreasi untuk mewarnai semesta. Dan waktu sedang mengejar gue untuk terus mencari hal lain. Mengejar semua ketertinggalan karena keterbatasan perasaan. Mengejar apa yang harusnya gue kejar. Membuat gue belajar. “Setiap orang, menginginkan yang lebih baik darinya. Dan seorang yang lebih, pasti akan mencari yang lebih”. dia pasti kembali ke gue. Karena jika kita mengejar yang lebih. Mau sampai kapan kita marathon dalam hidup. Dia akan lelah, dan gue yang akan setia berikan 'segelas air', dan sesungging senyum. Seraya berkata “Aku yakn waktu seperti ini akan datang juga. Kembali padaku, ya!”

Dengan satu kata sederhana namun menguji iman. Menunggu.

Ya, menguji iman. Ingat, “Sabar sebagian dari iman. Menunggu sebagian dari sabar. Berarti menunggu sebagian dari iman.”

Sekian
Thanks For Reading
@snvita

Jumat, 08 Maret 2013

"Bahagia itu sederhana, semoga kita bisa saling membahagiakan"


Entah karena terlalu menikmati, atau memang waktu yang bergulir terlalu cepat, tidak terasa saat ini kita sudah memasuki sembilan yang ketujuh. Sembilan yang ketujuh milik kita.

Kupersembahkan malamku ini untuk menuliskan sebuah, ehm, catatan kecil mungkin. Untuk seseorang yang telah dan sedang menemani perjalanan hidupku. Perjalanan kecil dihari-hari kecil.

Tetap ada dan bertahan dijalurku, dengan kemanjaan yang menguji, air mata yang mengalir, terlalu sering mengerutkan bibir, celotehan yang menantang, dan masih banyak sifat aneh yang secara natural aku miliki, tapi kamu tetap disini.

Bete, senang, sedih, suram, bahagia, kesal, tegang, deg-degan, hitam, putih, abu, pink, semua aku pernah rasain saat bersamamu. Bareng-bareng kita rangkai kerangka cerita. Kita sama-sama belajar dalam mendalami masing-masing peran. Mencari banyak dukungan restu dari orang-orang. Mencari cara bagaimana agar terus bertahan. Terkadang aku heran, aku yang cemburuan dan gampang “On fire” bisa tetap nyaman bersamamu. Tapi itulah kamu, kamu  bisa begitu.

Ajaib, aku selalu memikirkanmu. Bukan, bukan karena kamu satu-satunya pria yang selalu menuruti inginku. Tapi karena ya, ajaib. Kalau hanya menuruti inginku, aku rasa bukan hanya kamu. Kalau karena menemaniku, juga pasti bukan karena itu. Mungkin perasaanku yang menuntun untuk itu. Untuk selalu menempatkanmu difikiranku. Menyingkirkan fikiran lain, menyisihkan orang lain, dan mementingkan kamu.

Aku titipkan hati kecilku ini padamu. Tolong jangan sakiti. Tolong selalu jaga keberadaannya dihidupmu.
Kutitipkan perasaanku hanya padamu. Sebuah perasaan yang kamu tau sendiri bagaimana bentuknya. Kadang-kadang cuek dan kuat. Tapi tidak sering hancur karena lembek.
Bersama ini aku sertakan harapan. Keinginan untuk kita sama-sama bisa saling menjaga. Dalam skenario apapun. Agar dunia tau, aku dan kamu adalah dua orang hebat dan kuat dalam menghadapinya. Biar dunia yang catatkan nama kita dalam sejarahnya, bahwa ada dua orang manusia dengan karakter bertolak belakang sedang mencoba mengharmonikan keadaan. Semoga kita bisa. Semoga kita berhasil.

Mari kita sederhanakan sikap, dan rendahkan sifat agar malam selalu dapat kita sentuh tanpa terlalu banyak cekcok yang pada akhirnya hanya buat kita kalut.

Terimakasih untuk waktu, hari, cinta, perhatian, kasih dan sayang yang telah kamu curahkan untukku. Kudoakan kamu selalu sabar akan sifat manjaku. Kudoakan kamu bisa lebih baik dalam mengendalikan emosi. Dan aku doakan agar kita bisa selalu menyadurkan semuanya.
Karena cepat atau lambat, mau tidak mau, aku dan kamu harus menjadi “kita” yang seutuhnya, sepenuhnya.

“Bahagia itu sederhana, semoga kita bisa saling membahagiakan”
Thanks for everything, im happy to be with you.

Thanks for Reading
@snvita