Minggu, 31 Maret 2013

Kusebut ia Ayah


Saat aku memulai untuk menulis ini, kusempatkan diri untuk menatap beliau sedikit lebih lama dalam tidur lelahnya. Tidak terasa mataku layu dan airnya menetes.

≈≈≈

Cuaca hari ini panas. Juga dengan aku. Lelah, penat, kesal, bete, marah, semua menyatu menjadi gelombang negatif yang merasuki tubuhku. Mood sudah menyatakan bahwa ia sedang tidak ingin bersahabat untuk beberapa waktu. Sudahlah hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu.

Aku masuk kedalam rumah dengan keadaan yang sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk ditanya. Aku hanya ingin masuk kamar, menyalakan kipas angin, merebahkan badan, sambil mendengar musik instrumen yang kuharap bisa menenangkan.

Aku mulai memasuki ruangan dimana Ayahku ada disana. Sedang membuat kopi yang sudah pasti, untuk dirinya sendiri. Aku menyapanya sedikit dengan kata-kata yang setiap kali pulang entah darimana, pasti aku ucapkan. “Aku pulang”.
Ayah menengok kearahku. Seperti biasa, tatapannya hangat. Ya, tatapan itu selalu terhangat dari siapapun yang pernah menatapku. Tatapan itu ramah. Dan nggak ada pencitraan agar terlihat “lebih”. Tatapan itu apa adanya.

Aku menaiki tangga menuju kamarku dilantai dua. Ayah menyuruhku untuk makan saat aku masih berjalan ditengah-tengah tangga. Aku menghiraukan perintahnya. Aku masuk kedalam kamar dengan lunglai. Memasrahkan tubuh tertidur diatas kasur. Aku berharap kasur memanjakanku dan membuatku tertidur lebih cepat.

Tapi Ayah datang. Membuka pintu kamarku dan menyuruhku untuk makan. Seperti pada perintahnya yang barusan, aku masih menghhiraukan. Dan berkata “Nanti”. Simpel. Aku nggak mau diganggu siapapun sore ini. Termasuk Ayah. Seakan tidak mengerti inginku, Ayah tetap menyuruhku untuk makan. Aku tau, aku capek dan butuh makanan untuk mengembalikan tenaga yang terkuras hari yang melelahkan ini. Tapi aku lebih butuh sesuatu untuk mengembalikan mood yang hilang. Aku menutup mata dengan tanganku.
Ayah meraih tanganku, “Makan dulu, nasinya masih panas”.

Aku mulai bete dengan saran Ayah yang satu ini. Aku mengubah posisi menjadi duduk dan menatap Ayah dengan tatapan kesal, tetap tidak berkata apa-apa. Tapi kali ini Ayah mengerti apa yang aku inginkan. Ayah keluar kamar. Ayah sudah hampir menutup pintu kamarku saat Ibu berjalan dibelakangnya dan berhenti tepat didepan kamarku. Aku melihat kearah mereka berdua. Tatapan Ayah dan Ibu beradu saat itu. Seakan mengisyaratkan bahwa Ayah memang tidak boleh menggangguku.

Kasur tidak bisa membuaiku. Aku tidak bisa tidur. Lalu kuputuskan untuk keluar rumah, mencari kesegaran lain selain kipas angin.
≈≈≈
Aku berhenti ditaman depan komplek. Taman yang sedang diisi oleh segerombolan anak-anak bermain bola, bisa membuatku terhanyut dalam lamun.

Dalam lamunan, aku melihat seorang bapak yang belum terlalu tua. Mengasuh anak perempuan kecil, yang umurnya kira-kira masih sekitaran empat tahun. Anak kecil yang lucu dengan dua kunciran dikepalanya. Sang bapak terlihat sangat bahagia memiliki anak perempuan itu. Dibelikannya baju yang bagus, mainan yang banyak. Makanan manis yang khas anak-anak. Dan kasih sayang yang tidak bisa diragukan.

Tapi satu sisi aku melihat bapak tersebut bekerja sangat keras. Hampir sepanjang waktu dan setiap hari ia melakukan pekerjaannya. Tanpa ragu ia mengerjakan apapun dihadapannya. Tujuannya satu. Untuk anak perempuannya itu.

Dalam lamunku itu, aku juga melihat bapak itu bangga memakaikan pakaian seragam SD pada anaknya. Ia pakaikan topi berwarna merah pada anak perempuan yang sepertinya mulai memasuki usia enam tahun. Anak yang polos, senyumnya mengembang bahagia dengan mata yang berbinar. Bapak itu menuntun anaknya untuk pergi kesekolah pertama kali. Sungguh pemandangan yang paling romantis yang pernah aku saksikan antara seorang ayah dan anak.

Berangsur waktu mengalir, dalam bayanganku, anak perempuan itu sudah mulai beranjak remaja. Berganti seragam, hingga punya pacar. Bapak yang sudah mulai menua itu kurang bisa menerima pacar pertama anaknya. Dibayangan lain aku tau, alasan kenapa bapak tadi kurang menyukai pacar anaknya. Karena cemburu. Anak perempuan itu akan mempunyai fokus lain selain ia dan belajar.

Bapak itu mengompres anak perempuannya yang terbaring lemah. Matanya sayu. Menahan tangis saat melihat anak kesayangannya pingsan. Aku lihat bapak itu pura-pura tegar dan membisikkan sesuatu pada telinga anaknya, dan aku tidak bisa mendengar ia berkata apa.
Lamunanku itu terus berlanjut. Menyadurkan cerita ke cerita. Mengisi setiap kekosongan kata dalam bayang. Hingga akhirnya anak perempuan itu beranjak dewasa. Dan umur bapak itu sudah tidak bisa dibilang muda.

Anak perempuan itu terbentuk manja. Serba bergantung pada sesuatu yang dianggapnya nyaman dan terbiasa. Tapi bapak yang sudah mulai tua itu masih semangat mengais rezeki yang Tuhan titip pada Malaikat disetiap harinya. Bapak itu setia dengan pekerjaan yang melelahkannya, hingga sekeping - dua keping uang, Malaikat bagi padanya. Bapak itu tidak pernah lupa bersyukur dengan memberikan apapun yang anak perempuannya itu mau. Aku juga lihat, usaha bapak itu sangat luar biasa. Tanpa pamrih dan puji, ia terus mendewasakan, menjaga, menyayangi, sabar, menjadi tempat berbagi kisah dan keluh kesah sang anak perempuan yang saat ini menginjakkan umur baru. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

Ya, pemandangan yang sedari tadi aku lamunkan adalah pemandangan aku, bersama Ayahku. Cerita didalamnya terangkai apik, mengalir begitu saja.

≈≈≈

Aku terbangun dari lamunan saat bola yang sedang anak-anak didepanku itu mainkan, bergulir tepat menyentuh kakiku. Aku menendang kearah mereka. Lalu mereka kembali asyik dengan sepak bolanya. Tawa mereka khas anak-anak yang tidak punya beban. Lalu aku dan beban keseharianku?! Aku kembali teringat Ayah. Ayah selalu ada disetiap moment hidupku. Tidak peduli aku masih kecil atau mulai beranjak dewasa seperti sekarang. Tidak peduli senang atau saat moodku seperti ini. Tapi tidak denganku. Aku memutuskan untuk pulang kerumah.

Aku kembali membuka pintu rumahku. Ibu sedang mengerjakan sesuatu didapur. Ayah sedang duduk di depan TV. Aku duduk disampingnya. Tatapan ramah itu menyapa dengan hangat. Tatapan tulus yang selalu memaafkan tanpa berkata. Tatapan itu menatapku sambil tersenyum. Tangannya mengusap pelan kepalaku. Aku balas menatapnya dengan penyesalan yang bertumpang tindih dihati. Ayah tidak pernah dendam dengan kekesalan dan kesalahanku padanya, yang aku sendiri tau, itu dosa.

Ayah bertanya darimana aku?! Aku menjawab hanya dengan gelengan kepala. Lalu ia memerintahkanku hal yang mungkin sudah lebih dari tiga kali disore ini. “Nasinya udah mulai dingin, jadi cepet makan. Nanti nggak enak”

Aku tertawa kecil karena ucapannya. Dan bahagia setelahnya.

Apa yang Ayah ingin dariku sederhana. Hanya makan. Dan selalu sederhana karena tidak pernah menuntut lebih apa-apa.

Aku menyayanginya tapi Ayah menyayangiku lebih dari siapapun. Aku membanggakannya yang kuat, Ayah banggakanku sebagai anaknya yang hebat.

*Terimakasih telah mengajarkanku bermain sepeda. Menjadi orang pertama yang tau saat aku haid untuk pertama kali. Menjadi orang paling dramatis kala aku sakit. Menjadi orang paling sibuk mengurusi kebodohanku. Aku beruntung memilikimu. Dan aku yakin, didunia, Ayah sepertimu hanya satu. Dan hanya aku pemiliknya. Semoga Tuhan memberimu kasih sayang terindah yang Tuhan pernah beri untuk umatNya. Semoga Tuhan menghadiahimu Kasih sayang, juga rezeki yang melimpah. Dan surga bagimu, Ayah*

Selesai
Thanks for Reading
@snvita

1 komentar: