Jumat, 12 April 2013

Kutemui Pria ditepi Hati


Aku memarkirkan mobil dipinggir jalan ini. jalan sepi. Jalan yang sebenarnya tak ingin kulalui. Jalan ini tak ingin aku injaki lagi. jalan yang penuh dengan kenangan.

Pria itu sudah menungguku. Sepertinya dari tadi. Dia mematung mengadap taman dibawah bukit. Yang dulu sering kami singgahi. Terlihat siluet badannya yang tegap darisini. Matahari sore ini memihaknya untuk bertemu dengan aku. Walau hatiku sudah tak mau ada temu. Tapi sepertinya ada hal teramat penting yang ingin pria ini utarakan.

Aku turun dari mobil. Dan memutuskan untuk segera menghampirinya.

Dia menyadari kedatangan seseorang dibelakangnya. Kedatanganku. Langkahku terayun rapi. Aku tidak ingin terlihat gugup. Ya, setelah bertahun aku tak bertemu dengannya, membuat jantung berolahraga sedikit lebih cepat.

Dia kembali melihat kearah taman. Aku sudah sejajar dengannya sekarang. Matahari melembutkan sinarnya. Awan meneduhi kami. Sore ini cerah sekali. Indah. Namun dia tidak lagi sendiri.

Dia bertanya bagaimana kabarku. Aku jawab seperlunya, tanpa aku bertanya balik. Wangi tubuhnya tercium lembut hidungku. Wanginya masih sama seperti dulu. Saat hari dan waktunya hanya untuk aku.

Aku ingin sekali menatap wajah itu. Tapi masih canggung dan kaku. Kembali aku teringat kejadian pilu. Saat dia memutuskan untuk pergi dengan wanita lain. Memutuskan untuk mencintai selain aku. Saat kita masih bersama. Dulu.

Dia memutuskan untuk menikah dengan waniita lain. Aku tak tau siapa wanita itu? Siapa wanita beruntung yang akan menjadi istri pria ini. Pria yang tangguh, gagah, tampan. Aku tak begitu saja mau menerima. Hubungan kami memang belum terlalu lama. Tapi hatiku sudah terlalu yakin padanya. Keluarga kami belum sempat bertemu. Dia dan aku belum pernah bertemu dengan keluarga masing-masing. Tapi janji-janjinya. Harapanku untuk hidup lebih baik dengannya, dan keinginanku yang besar akan dia yang menjadi sosok pengganti ayah sangat besar. Ya, Ayah dan Ibu sudah bercerai sejak aku berumur empat tahun.

Aku tak tau apa rencana Tuhan kala itu. Apakah Tuhan ingin aku menderita?! Bercengkrama dengan perasaan ketidak adilanNya padaku. Berteman dengan ketidak bahagiaan setiap waktu. Kala Tuhan memisahkan aku dengan pria ini. Dan menjodohkannya dengan wanita lain, yang tidak lain adalah.... Ibuku?!

Aku menggelengkan kepala. Berusaha memudarkan kenangan kelam dan tidak lagi mengingat. Lembayung menjadi penghangat kami senja ini. Aku memutuskan untuk menatap wajahnya yang tersorot cahaya berwarna oranye. Biasan memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. Sorot matanya tak lagi sebersinar dulu. Mata itu lelah. Wajah itu lelah. Aku melihat semua kelelahan didirinya. Ada apa?! Aku yang masih sendiri sedari kepergiannya bersama ibu, ingin sekali menyentuhnya mesra. Tapi tak mungkin. Cinta itu harus sudah tiada. Dia kini menjadi Papa.
Lama kami mematung dalam lembayung, dia memulai untuk berbicara.

Kata maaf yang pertama kali ia ucap. Sebenarnya aku tak ingin mendengarnya. Semua telah terlambat. Pernikahannya dengan Ibu dulu ia lakukan tanpa maaf. Ia hanya berkata sangat mencintai wanita lain yang lebih matang dan baik.
Dia mulai bekata-kata padaku. Berkata dengan wajah masih menghadap taman. Tatapan itu datar. Kemana cahaya yang dulu ada?! Kemana cahaya dirinya yang dulu melekat dan selalu membuatku jatuh cinta?

Katanya, dulu saat dia memutuskan untuk menikahi ibu, karena ia belum yakin padaku. Terlebih lagi dia belum tau bahwa wanita yang akan dinikahi adalah Ibuku. Tapi aku tak pedulikan lagi itu. Apapun alasannya, ia tetap meninggalkanku dengan keadaan selingkuh.
Tapi kini dia sadari. Ibu bukan yang ia ingin. Juga bukan takdir yang ia butuh. Perbedaan duapuluh satu tahun antara dia dan Ibu membuatnya merasa tidak nyaman. Dia hanya melihat sosok seorang “ibu” dari Ibuku. Bukan istri. Katanya juga, ia terlalu sering mengingatku, yang sekarang menjadi anak tirinya. Bukan mengingat sebagai anak. Tapi mengingat sebagai wanita yang pernah dicintainya. Dan wanita yang tak ia pilih, karena perasaan semu belaka. Dan kini ia menginginkanku.

Tak pantas ia mengingatku sebagai itu. Dia menjadi milik ibu sekarang. Apapun alasannya, ia pernah dan sudah memilih Ibu. Tak bisa dia jadikan Ibu sebagai alasan kesalahannya dalam memilih. Dan yang paling membuatku shock adalah, perceraiannya dengan Ibu. Ya, dia memutuskan untuk bercerai dengan Ibu. Dan Ibu menyetujui hal itu. Walau bagaimanapun, aku sedih mendengar pernyataan dari mulutnya tadi. Dia dan Ibu tak seharusnya bercerai. Apa tidak ada lagi cinta dan alasan lainnya yang bisa membuat mereka tetap bersama?!

Dia berkata, bahwa dia mencintaiku. Ternyata yang ia cintai adalah aku. Waktu yang berlalu karena kesalahannya tetap tidak bisa kembali. Tapi dia menyesali pernah meninggalkanku. Mungkin karma atau struktur waktu yang membuatnya seperti itu. Tapi apa salah Ibuku?! Aku murka mendengarnya.

“Aku memang mencintaimu. Dan jujur saja sampai sekarang aku tetap mencintaimu. Melihat kemesraanmu dengan Ibu membuatku amat cemburu. Itulah alasan mengapa dengan menggebu aku ingin pergi dari rumah agar jauh dari ibu dan dirimu. Awalnya aku memang tak bisa menerima semua itu. Aku tak rela kau menikahi Ibuku. Aku tak suka melihat kebahagiaan Ibu disampingmu karena aku sangka kamu adalah takdirku. Aku memang menginginkanmu menjadi sosok pengganti Ayah, sebagai suamiku. Bukan benar-benar menjadi ayah tiriku. Tapi aku sudah dewasa. Hatiku terasah untuk selalu memaafkan. Aku relakan kamu bersama Ibu. Ibu adalah kebahagiaanku. Juga kamu.Aku dewasa karena turuh bangga mampu melepaskan dua kebahagiaanku agar menjadi satu. Aku memang menginginkanmu. Tapi mungkin ibu membutuhkanmu. Aku ingin kamu menjadi takdirku. Tapi takdir ingin kamu menjadi takdir Ibu. Walaupun Ibu akan tak lagi bersamamu, dan kamu mencari takdir lain, biarlah orang lain yang menjadi jodohmu. Bukan aku”

Akhirnya aku membuka mulut, berbicara seperti itu padanya. Kami berdua tetap diam. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi aku memang benar-benar tidak mau lagi dengannya. Ah sudahlah. Semua telah berlalu. Apapun keputusannya dengan Ibu. Aku sudah tidak ingin tau.

Tanpa pamit aku meninggalkannya yang masih tak mau berucap. Tatapannya makin redup. Cahayanya makin pudar. Aku sudah tak lagi memedulikan dia. Kemanapun cahaya itu pergi, aku tetap akan meninggalkannya. Aku berjanji dalam hati untuk segera menemui Ibu. Janjiku juga, untuk tidak menemuinya Seumur hidupku.

Dia hanya pria ditepi hati. Tempatnya kini hanya ditepian hatiku yang tak layak lagi dia tempati. Tersapu anginpun dia terhempas mati. Salahku selama ini, mementingkan ego untuk memusuhi Ibu. Dia meyakinkanku bahwa Ibu tak pernah tau cerita masa lalu kami. Dan aku harap Ibu tidak pernah tau kisah kami. Kisahku yang kini sedang kutemui lagi. Seorang pria ditepian hati.

Sekian
Thanks for Reading
@snvita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar