Aku memarkirkan mobil dipinggir jalan ini.
jalan sepi. Jalan yang sebenarnya tak ingin kulalui. Jalan ini tak ingin aku
injaki lagi. jalan yang penuh dengan kenangan.
Pria itu sudah menungguku. Sepertinya dari
tadi. Dia mematung mengadap taman dibawah bukit. Yang dulu sering kami singgahi. Terlihat siluet badannya yang
tegap darisini. Matahari sore ini memihaknya untuk bertemu dengan aku. Walau hatiku
sudah tak mau ada temu. Tapi sepertinya ada hal teramat penting yang ingin pria
ini utarakan.
Aku turun dari mobil. Dan memutuskan untuk
segera menghampirinya.
Dia menyadari kedatangan seseorang
dibelakangnya. Kedatanganku. Langkahku terayun rapi. Aku tidak ingin terlihat
gugup. Ya, setelah bertahun aku tak bertemu dengannya, membuat jantung
berolahraga sedikit lebih cepat.
Dia kembali melihat kearah taman. Aku sudah
sejajar dengannya sekarang. Matahari melembutkan sinarnya. Awan meneduhi kami.
Sore ini cerah sekali. Indah. Namun dia tidak lagi sendiri.
Dia bertanya bagaimana kabarku. Aku jawab
seperlunya, tanpa aku bertanya balik. Wangi tubuhnya tercium lembut hidungku.
Wanginya masih sama seperti dulu. Saat hari dan waktunya hanya untuk aku.
Aku ingin sekali menatap wajah itu. Tapi
masih canggung dan kaku. Kembali aku teringat kejadian pilu. Saat dia
memutuskan untuk pergi dengan wanita lain. Memutuskan untuk mencintai selain
aku. Saat kita masih bersama. Dulu.
Dia memutuskan untuk menikah dengan waniita
lain. Aku tak tau siapa wanita itu? Siapa wanita beruntung yang akan menjadi
istri pria ini. Pria yang tangguh, gagah, tampan. Aku tak begitu saja mau
menerima. Hubungan kami memang belum terlalu lama. Tapi hatiku sudah terlalu
yakin padanya. Keluarga kami belum sempat bertemu. Dia dan aku belum pernah bertemu
dengan keluarga masing-masing. Tapi janji-janjinya. Harapanku untuk hidup lebih
baik dengannya, dan keinginanku yang besar akan dia yang menjadi sosok
pengganti ayah sangat besar. Ya, Ayah dan Ibu sudah bercerai sejak aku berumur
empat tahun.
Aku tak tau apa rencana Tuhan kala itu.
Apakah Tuhan ingin aku menderita?! Bercengkrama dengan perasaan ketidak
adilanNya padaku. Berteman dengan ketidak bahagiaan setiap waktu. Kala Tuhan memisahkan
aku dengan pria ini. Dan menjodohkannya dengan wanita lain, yang tidak lain
adalah.... Ibuku?!
Aku menggelengkan kepala. Berusaha
memudarkan kenangan kelam dan tidak lagi mengingat. Lembayung menjadi
penghangat kami senja ini. Aku memutuskan untuk menatap wajahnya yang tersorot
cahaya berwarna oranye. Biasan memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Ada
sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. Sorot matanya tak lagi sebersinar
dulu. Mata itu lelah. Wajah itu lelah. Aku melihat semua kelelahan didirinya.
Ada apa?! Aku yang masih sendiri sedari kepergiannya bersama ibu, ingin sekali
menyentuhnya mesra. Tapi tak mungkin. Cinta itu harus sudah tiada. Dia kini
menjadi Papa.
Lama kami mematung dalam lembayung, dia
memulai untuk berbicara.
Kata maaf yang pertama kali ia ucap.
Sebenarnya aku tak ingin mendengarnya. Semua telah terlambat. Pernikahannya
dengan Ibu dulu ia lakukan tanpa maaf. Ia hanya berkata sangat mencintai wanita
lain yang lebih matang dan baik.
Dia mulai bekata-kata padaku. Berkata
dengan wajah masih menghadap taman. Tatapan itu datar. Kemana cahaya yang dulu
ada?! Kemana cahaya dirinya yang dulu melekat dan selalu membuatku jatuh cinta?
Katanya, dulu saat dia memutuskan untuk
menikahi ibu, karena ia belum yakin padaku. Terlebih lagi dia belum tau bahwa
wanita yang akan dinikahi adalah Ibuku. Tapi aku tak pedulikan lagi itu. Apapun
alasannya, ia tetap meninggalkanku dengan keadaan selingkuh.
Tapi kini dia sadari. Ibu bukan yang ia
ingin. Juga bukan takdir yang ia butuh. Perbedaan duapuluh satu tahun antara
dia dan Ibu membuatnya merasa tidak nyaman. Dia hanya melihat sosok seorang “ibu”
dari Ibuku. Bukan istri. Katanya juga, ia terlalu sering mengingatku, yang
sekarang menjadi anak tirinya. Bukan mengingat sebagai anak. Tapi mengingat
sebagai wanita yang pernah dicintainya. Dan wanita yang tak ia pilih, karena
perasaan semu belaka. Dan kini ia menginginkanku.
Tak pantas ia mengingatku sebagai itu. Dia
menjadi milik ibu sekarang. Apapun alasannya, ia pernah dan sudah memilih Ibu.
Tak bisa dia jadikan Ibu sebagai alasan kesalahannya dalam memilih. Dan yang
paling membuatku shock adalah,
perceraiannya dengan Ibu. Ya, dia memutuskan untuk bercerai dengan Ibu. Dan Ibu
menyetujui hal itu. Walau bagaimanapun, aku sedih mendengar pernyataan dari
mulutnya tadi. Dia dan Ibu tak seharusnya bercerai. Apa tidak ada lagi cinta
dan alasan lainnya yang bisa membuat mereka tetap bersama?!
Dia berkata, bahwa dia mencintaiku.
Ternyata yang ia cintai adalah aku. Waktu yang berlalu karena kesalahannya
tetap tidak bisa kembali. Tapi dia menyesali pernah meninggalkanku. Mungkin
karma atau struktur waktu yang membuatnya seperti itu. Tapi apa salah Ibuku?!
Aku murka mendengarnya.
“Aku memang mencintaimu. Dan jujur saja
sampai sekarang aku tetap mencintaimu. Melihat kemesraanmu dengan Ibu membuatku
amat cemburu. Itulah alasan mengapa dengan menggebu aku ingin pergi dari rumah
agar jauh dari ibu dan dirimu. Awalnya aku memang tak bisa menerima semua itu.
Aku tak rela kau menikahi Ibuku. Aku tak suka melihat kebahagiaan Ibu
disampingmu karena aku sangka kamu adalah takdirku. Aku memang menginginkanmu
menjadi sosok pengganti Ayah, sebagai suamiku. Bukan benar-benar menjadi ayah
tiriku. Tapi aku sudah dewasa. Hatiku terasah untuk selalu memaafkan. Aku
relakan kamu bersama Ibu. Ibu adalah kebahagiaanku. Juga kamu.Aku dewasa karena
turuh bangga mampu melepaskan dua kebahagiaanku agar menjadi satu. Aku memang
menginginkanmu. Tapi mungkin ibu membutuhkanmu. Aku ingin kamu menjadi
takdirku. Tapi takdir ingin kamu menjadi takdir Ibu. Walaupun Ibu akan tak lagi
bersamamu, dan kamu mencari takdir lain, biarlah orang lain yang menjadi
jodohmu. Bukan aku”
Akhirnya aku membuka mulut, berbicara
seperti itu padanya. Kami berdua tetap diam. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi
aku memang benar-benar tidak mau lagi dengannya. Ah sudahlah. Semua telah
berlalu. Apapun keputusannya dengan Ibu. Aku sudah tidak ingin tau.
Tanpa pamit aku meninggalkannya yang masih
tak mau berucap. Tatapannya makin redup. Cahayanya makin pudar. Aku sudah tak
lagi memedulikan dia. Kemanapun cahaya itu pergi, aku tetap akan
meninggalkannya. Aku berjanji dalam hati untuk segera menemui Ibu. Janjiku
juga, untuk tidak menemuinya Seumur hidupku.
Dia hanya pria ditepi hati. Tempatnya kini
hanya ditepian hatiku yang tak layak lagi dia tempati. Tersapu anginpun dia
terhempas mati. Salahku selama ini, mementingkan ego untuk memusuhi Ibu. Dia meyakinkanku
bahwa Ibu tak pernah tau cerita masa lalu kami. Dan aku harap Ibu tidak pernah
tau kisah kami. Kisahku yang kini sedang kutemui lagi. Seorang pria ditepian
hati.
Sekian
Thanks for Reading
@snvita